Meskipun di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) sudah dicakup aspek-aspek perpajakan internasional, dalam beberapa hal, ketentuan-ketentuan dalam UU PPh tersebut belum cukup efektif dalam mengakomodasi keinginan dunia internasional, misalnya dalam pencegahan pengenaan pajak berganda.

Berikut ini adalah contoh ketidakefektifan UU PPh dalam mencegah pengenaan pajak berganda:

  • Sukarto, Wajib Pajak dalam negeri, adalah pegawai dari PT ABC. Pada tahun 2006, sehubungan dengan pekerjaannya, dia harus melaksanakan tugasnya di Amerika Serikat selama 100 hari. Untuk itu, ia mendapat penghasilan sebesar US$10,000 dari PT ABC.
  • Ketentuan pajak domestik Amerika Serikat mengatur bahwa sumber penghasilan sehubungan dengan pekerjaan adalah pada negara tempat pekerjaan tersebut dilakukan. Sementara itu, Indonesia menetapkan bahwa sumber penghasilan sehubungan pekerjaan adalah pada negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan.
  • Jadi, pada kasus ini Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama menganggap berhak untuk memajaki penghasilan Sukarto karena dua-duanya menganggap negaranya adalah negara sumber penghasilan. Indonesia akan memajakinya dengan tarif progresif, sementara Amerika Serikat akan menerapkan pemotongan pajak dengan tarif 30%.
  • Fasilitas kredit pajak berdasarkan Pasal 24 UU PPh tidak dapat digunakan karena penghasilan Sukarto tersebut dianggap bersumber di Indonesia, bukan dari luar negeri. Dengan demikian, atas penghasilan Sukarto tersebut terjadi pengenaan pajak berganda.

Dalam rangka penyempurnaan aspek-aspek perpajakan internasional dalam UU PPh tersebut,  Indonesia melengkapi ketentuan-ketentuan perpajakannya melalui pengadaan P3B dengan negara-negara lain.

LATAR BELAKANG P3B

P3B muncul karena adanya benturan jurisdiksi perpajakan antara negara-negara yang punya modal (capital exporting countries) dan negara-negara yang mem-butuhkan modal (capital importing countries). Kedua negara tersebut melakukan hubungan ekonomi yang tidak terlepas dari aspek perpajakan (lihat gambar di samping). Akibat dari benturan ini, pengenaan pajak tidak dilakukan sama sekali di dua negara (tax evasion), atau bahkan dikenakan dua kali di masing-masing negara tersebut (double taxation). Untuk menghindari kedua efek tersebut, diperlukan adanya pengaturan-pengaturan antara kedua negara yang melakukan hubungan ekonomi. Pengaturan-pengaturan tersebut selanjutnya tertuang di dalam P3B.

PENGERTIAN DAN TUJUAN P3B

P3B (tax treaty) merupakan kesepakatan antara dua negara untuk memodifikasi peraturan perundang-undangan perpajakannya masing-masing. Biasanya yang dimodifikasi adalah ketentuan mengenai pajak atas penghasilan saja. Jadi, pajak-pajak lainnya, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan, dan bea materai, tidak diatur dalam P3B.

P3B mempunyai dua tujuan utama, yaitu:

  1. Memfasilitasi perdagangan internasional dan arus investasi antar negara, antara lain dengan cara:
    1. menghindarkan adanya pengenaan pajak berganda dan
    2. memberikan pengurangan tarif pajak di negara sumber atas beberapa bentuk penghasilan tertentu (biasanya: passive income)
  2. Merupakan alat bagi kedua Contracting States (negara yang menandatangani P3B) untuk lebih dapat menerapkan aturan-aturan domestiknya sehingga dapat mengurangi adanya praktik pengelakan pajak, misalnya dengan memungkinkan masing-masing Contracting States untuk saling bertukar informasi, konsultasi bersama, atau mengadakan mutual agreement.

KEDUDUKAN P3B DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DOMESTIK INDONESIA

Kedudukan P3B di suatu negara adalah tergantung pada sistem perundang-undangan negara tersebut. Di Indonesia berdasarkan sistem perundang-undangan yang dianut, P3B diperlakukan sebagai lex specialis terhadap undang-undang domestik. Karena itu, apabila ada pertentangan antara undang-undang domestik Indonesia dengan P3B, aturan-aturan yang ada dalam P3B akan didahulukan.

Sebagai perbandingan, cara Amerika Serikat mendudukkan P3B dalam perundang-undangannya tidak sama dengan Indonesia. Dengan prinsip lex posterior derogate lex priori, Amerika Serikat mendudukkan tax treaty sama dengan undang-undang nasional. Hanya saja, aturan yang datang kemudian akan mengalahkan aturan yang terdahulu.

MODEL P3B

Dalam proses pengadaan P3B, masing-masing negara akan mengajukan Model P3B-nya masing-masing. Indonesia juga mempunyai Model P3B sendiri, yaitu Model P3B Indonesia. Secara umum, di dunia ini ada dua Model P3B, yaitu Organization for Economic Cooperation and Development Model (OECD Model) dan United Nations Model (UN Model). OECD Model dibuat berdasarkan perspektif atau kepentingan negara-negara maju, sedangkan UN Model dibuat berdasarkan perspektif atau kepentingan negara-negara berkembang. Model P3B Indonesia adalah merupakan modifikasi dari UN Model.

Berikut ini adalah tabel isi bab dan pasal-pasal di P3B berdasarkan OECD Model yang juga dirujuk oleh UN Model dan Model P3B Indonesia.

BEBERAPA HAL YANG DIMODIFIKASI PADA P3B

Seperti sudah disinggung di muka, P3B merupakan kesepakatan antar dua negara untuk memodifikasi peraturan perundang-undangan perpajakannya masing-masing. Dengan merujuk ke Model P3B Indonesia, ketentuan-ketentuan dalam UU PPh yang dimodifikasi antara lain sebagai berikut:

  1. Pengertian Subjek Pajak Dalam Negeri
  2. Perpajakan atas Laba Usaha dan Bentuk Usaha Tetap (But)
  3. Pelayaran dan Penerbangan
  4. Perpajakan atas Penghasilan dari Modal
  5. Perpajakan atas Penghasilan dari Harta Tidak Bergerak
  6. Perpajakan atas Penghasilan dari Pengalihan Harta (Capital Gain)
  7. Perpajakan atas Penghasilan dari Pekerjaan
  8. Perpajakan atas Penghasilan Lainnya
  9. Metode Penghindaran Pajak Berganda

PENGERTIAN SUBJECT PAJAK DALAM NEGERI

Pasal 1 Model P3B Indonesia menyatakan bahwa P3B berlaku terhadap orang dan badan yang menjadi penduduk salah satu atau kedua Contracting States. Untuk keperluan P3B, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Model P3B Indonesia yang dimaksud dengan “penduduk suatu Contracting State” adalah setiap orang/badan, yang menurut perundang-undangan negara tersebut, dapat dikenakan pajak di negara tersebut berdasarkan:

  • domisilinya,
  • tempat kediamannya,
  • tempat kedudukan manajemennya, atau
  • atas dasar lainnya yang sifatnya serupa.

Dalam hal Indonesia, definisi “penduduk suatu Contracting State” akan mengacu pada definisi Subjek Pajak dalam negeri yang diatur dalam UU PPh. Seperti sudah disinggung sebelumnya, berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU PPh, untuk keperluan perpajakan, yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah:

  1. orang pribadi yang:
    1. bertempat tinggal di Indonesia atau
    2. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau
    3. dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
  2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
  3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Dengan mendasarkan pengertian “penduduk” (untuk kepentingan perpajakan) pada UU domestik masing-masing negara, ada kemungkinan bahwa seseorang atau suatu badan menjadi penduduk pada kedua Contracting States.

Contoh:
Mr. Smith, warga negara Amerika Serikat, bekerja pada perusahaan minyak yang melakukan kegiatan eksplorasi di Indonesia. Dia berada di Indonesia 300 hari dalam setiap tahunnya.

Menurut UU Indonesia, Mr. Smith adalah Subjek Pajak dalam negeri (residen Indonesia) karena berada di Indonesia lebih dari 183 hari. Sementara itu, karena Amerika Serikat menganut asas kewarganegaraan dalam menentukan status kependudukan seseorang, Mr. Smith tetap dianggap sebagai resident Amerika Serikat.

Dalam kasus seperti ini, P3B akan memberikan solusi. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Model P3B Indonesia, apabila berdasarkan ketentuan di atas orang pribadi menjadi penduduk pada kedua Contracting States, status kependudukannya akan ditentukan sebagai berikut:

Ketentuan di atas berlaku dalam penetapan status kependudukan orang pribadi. Untuk pihak selain orang pribadi, Pasal 4 ayat (3) Model P3B Indonesia mengatur bahwa apabila suatu pihak selain orang pribadi (bisa badan atau warisan yang belum dibagi) menjadi penduduk pada kedua Contracting States,  pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua negara akan berusaha memecahkan masalah ini melalui persetujuan bersama.

Pada beberapa P3B yang sekarang berlaku, apabila suatu badan menjadi penduduk pada kedua Contracting States,  badan tersebut akan dianggap sebagai penduduk negara di mana tempat kedudukan manajemen efektif badan tersebut berada.

Pada praktiknya, berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996, status kependudukan orang/badan cukup dibuktikan dengan Certificate of Residence atau Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diterbitkan oleh competent authority masing-masing negara.

PERPAJAKAN ATAS LABA USAHA DAN BENTUK USAHA TETAP (BUT)

Tanpa adanya P3B, sesuai Pasal 26 ayat (1) UU PPh, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain BUT di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.

Dengan adanya P3B, sesuai Pasal 7 Model P3B Indonesia, laba usaha suatu perusahaan dari treaty partner (negara yang menjadi partner Indonesia dalam P3B) hanya akan dikenakan pajak di negara treaty partner tersebut (negara domisili), kecuali jika perusahaan tersebut menjalankan usahanya di Indonesia melalui suatu BUT yang terletak di Indonesia.

Contoh:

X Inc., perusahaan yang berkedudukan di Amerika Serikat, mendapatkan imbalan berupa management fee dari PT ABC. Konsekuensi perpajakannya akan tergantung kepada ada tidaknya BUT X Inc. di Indonesia. Apabila X Inc. mempunyai BUT yang terletak di Indonesia, atas penghasilan tadi dapat dikenakan pajak di Indonesia. Apabila tidak, Indonesia tidak mempunyai hak untuk memajaki penghasilan X Inc. yang berupa laba usaha (business profit) meskipun laba usaha tersebut berasal dari sumber di Indonesia.

Beranjak dari ketentuan di atas, penentuan ada tidaknya BUT menjadi sangat penting dalam menentukan hak pemajakan atas laba usaha. Dalam hal ini, P3B juga memodifikasi pengertian BUT yang ada dalam UU PPh.

Pengertian BUT menurut P3B

Sesuai Pasal 5 ayat (1) Model P3B Indonesia, untuk kepentingan P3B, istilah “bentuk usaha tetap” (permanent establishment) berarti suatu tempat usaha tetap yang seluruh atau sebagian usaha suatu perusahaan dijalankan. Sama seperti pembagian jenis BUT sebelumnya, BUT dapat dibagi menjadi empat macam:

  1. BUT Jenis Aktiva
  2. BUT Jenis Aktivas
  3. BUT Jenis Agen
  4. BUT Jenis Perusahaan Asuransi

Perlakuan Perpajakan untuk Bentuk Usaha Tetap (BUT)

  1. Objek Pajak BUT
  2. Biaya-biaya BUT
  3. Tarif Pajak BUT

PELAYARAN DAN PENERBANGAN

Selain memodifikasi penghasilan Subjek Pajak luar negeri yang berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan sebagaimana dijelaskan di muka, Model P3B Indonesia juga memodifikasi imbalan dimaksud yang diterima oleh perusahaan pelayaran dan penerbangan yang merupakan penduduk negara treaty partner.

Berdasarkan Pasal 8 Model P3B Indonesia, laba yang bersumber di Indonesia yang diperoleh suatu perusahaan yang merupakan penduduk negara treaty partner dari pengoperasian kapal-kapal laut dalam jalur lalu lintas internasional dapat dikenakan pajak di Indonesia (negara sumber), tetapi pajak yang dikenakan tersebut akan dikurangi dengan jumlah yang sama dengan 50%-nya.

Kalau dalam Pasal 7 Model P3B Indonesia diatur bahwa Indonesia berhak memajaki business profit sepanjang ada BUT di Indonesia,  untuk penghasilan perusahaan pelayaran dari treaty partner, Indonesia mempunyai hak pengenaan pajak atas laba yang bersumber di Indonesia yang diperoleh dari pengoperasian kapal-kapal laut dalam jalur lalu lintas internasional tanpa melihat apakah perusahaan asing tersebut mempunyai BUT di Indonesia atau tidak, tetapi dengan tarif sebesar 50% dari tarif yang berlaku.

Perlu diperhatikan bahwa yang dapat dipajaki di Indonesia dengan tarif sebesar 50% dari tarif yang berlaku adalah penghasilan yang berasal dari Indonesia dari pengoperasian kapal laut dalam jalur lalu lintas internasional. Penghasilan sehubungan dengan pengoperasian kapal laut dalam jalur lalu lintas domestik Indonesia tunduk sepenuhnya pada peraturan perundang-undangan Indonesia.

Berbeda dengan perusahaan pelayaran, laba dari pengoperasian pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional oleh perusahaan penerbangan dari treaty partner hanya akan dikenakan pajak di negara treaty partner tersebut (negara domisili). Indonesia hanya berhak memajaki penghasilan sehubungan dengan pengoperasian kapal laut dalam jalur lalu lintas domestik Indonesia.

Yang dimaksud dengan jalur lalu lintas internasional adalah jalur lalu lintas selain yang dari dan menuju tempat-tempat yang berada di wilayah Indonesia.

Sebagai ilustrasi, Perusahaan Malaysia mengoperasikan kapal laut atau pesawat udaranya dengan jalur Kuala Lumpur – Jakarta – Denpasar – Jakarta – Kuala Lumpur. Yang dimaksud dengan jalur lalu lintas internasional dalam hal ini adalah jalur Kuala Lumpur – Jakarta dan Kuala Lumpur – Denpasar (serta sebaliknya). Penghasilan dari penumpang yang naik dari Kuala Lumpur dan turun di Jakarta atau Denpasar (dan sebaliknya, naik dari Denpasar atau Jakarta kemudian turun di Kuala Lumpur) adalah penghasilan dari jalur lalu lintas internasional. Sedangkan penghasilan dari penumpang yang naik dari Jakarta kemudian turun di Denpasar adalah penghasilan dari jalur lalu lintas domestik Indonesia.

Ingat, yang diatur dalam P3B adalah penghasilan yang berasal dari jalur lalu lintas internasional. Penghasilan dari jalur lalu lintas domestik Indonesia akan tunduk sepenuhnya pada aturan domestik Indonesia.

Aturan domestik Indonesia berkenaan kegiatan pelayaran dan penerbangan yang dilakukan oleh Subjek Pajak luar negeri adalah sebagai berikut:

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996, penghasilan neto Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri ditetapkan sebesar 6% dari peredaran bruto, yaitu semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak tersebut dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri. Adapun besarnya PPh bagi Wajib Pajak tersebut adalah sebesar 2,64% dari peredaran bruto dan bersifat final.

Jadi, tanpa adanya P3B, penghasilan Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri akan dikenakan PPh sebesar 2,64% dari peredaran bruto baik atas penghasilan yang berasal dari jalur lalu lintas internasional maupun yang berasal dari jalur lalu lintas domestik Indonesia. Dengan adanya P3B, penghasilan yang berasal dari jalur lalu lintas internasional akan dimodifikasi menjadi:

  1. Untuk perusahaan pelayaran, ada potongan 50% sehingga tarifnya menjadi 1,32% dari peredaran bruto; dan
  2. Untuk perusahaan penerbangan, ada pembebasan pemotongan PPh.

 

Picture of Pratama Indomitra

Pratama Indomitra

Our consultants hold the certificate for tax consultant as well as the registered tax consultants and the licensed tax attorneys. Pratama Indomitra Konsultan is also a member of Kreston International, a global network of independent accounting firms.

3 thoughts on “P3B: Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty)

  1. Bagaimana dengan warga indonesia yang memiliki asset property di australia yang disewakan. apakah warga indonesia tersebut harus membayar pajak di kedua negara?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

small_c_popup.png

Bantu Kami Memahami Masalah Anda

Beri tahu kami bagaimana membantu Anda lebih baik